Kamis, 02 Januari 2014

Mengulas apa itu Delusi

Oleh Andy Laksmana Sastrahadijaya


KBBI membatasi kata delusi /de·lu·si/ sebagai berikut [n] Psi adalah pikiran atau pandangan yg tidak berdasar (tidak rasional), biasanya berwujud sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; pendapat yg tidak berdasarkan kenyataan; khayal. Beberapa Kompasioner suka menulis artikel bersifat delusif di Kompasiana ini dan sayangnya mereka sering menempatkan artikel delusionalnya itu di kanal yang keliru. Satu-satunya kanal Kompasiana yang masih layak menampung berbagai artikel delusional ialah Fiksiana. Kanal-kanal yang bersifat ‘non-fiksi’ semestinya ‘steril’ dari berbagai artikel delusional karena berpotensi menyesatkan dan memerbodoh para pembaca yang kurang teliti atau yang daya pikirnya sedang terhijab banyak hal lainnya.
Salah satu contoh artikel delusional baru-baru ini dikarang oleh “filsuf” beriman kita dan disiarkan di kanal Filsafat. Judul artikelnya saja sudah menyesatkan. Ia memberi nasihat mengenai suatu hal yang tidak benar-benar diketahuinya. Ibaratnya seperti orang yang sedang menunjukkan kepada para musafir arah jalan ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya, ia tentu berpotensi menjerumuskan banyak orang melalui jalan berliku-liku yang tidak menentu arah rimba dan tujuannya.
Saking terdelusinya, penulis artikel itu tidak mampu membedakan antara konsep mengenai Tuhan dan entitas Tuhan. Meskipun telah diberitahu berulang kali bahwa yang selalu ditulis dan dibicarakannya itu sebenarnya adalah KONSEP mengenai Tuhan yang begini dan begitu, ia masih saja menganggap bahwa yang dimaksudkannya itu adalah entitas Tuhan yang sebenarnya. “Tuhan” yang dijelaskan dalam berbagai Kitab Suci itu adalah “Tuhan” konseptual yang digambarkan begini dan begitu sesuai dengan sistem kepercayaan para penemunya. Para pengikut sistem kepercayaan yang tergolong cerdas akan berusaha keras menyelidiki dengan segala daya upaya dan kemampuannya sendiri untuk menemukan Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan atau dengan kata lain berusaha “membuktikan” bahwa segala “kenyataan” anggapan mereka itu sesuai benar dengan kenyataan yang sesungguhnya. Sebaliknya, para pengikut fanatik yang kebanyakan memang menempati spektrum rendah kecerdasan (silakan baca artikel ini,) akan menelan mentah-mentah segala hal anggapan itu dan menganggap segalanya itu sebagai keNYATAan atau keBENARan, padahal mereka pada hakikatnya hanyalah merupakan “kenyataan”/”kebenaran” anggapan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan di atas, silakan para pembaca menyimak dengan teliti artikel delusional yang tautannya terdapat di atas.
Contoh lainnya begini: Fujiko Fujia menciptakan seri manga Jepang ‘Doraemon’ yang pada kemudian hari menjadi serial anime terkenal yang ditayangkan oleh berbagai setasiun TV di seluruh pelosok dunia sebagai film animasi yang sangat disukai sebagian anak-anak. Doraemon merupakan kucing robot serba-cerdas yang berkelana mundur dalam waktu dari Abad ke-22 untuk membantu Nobita Nobi, tokoh fiktif anak-anak berusia di bawah sepuluh tahunan. Para tokoh protagonist dan antagonis dalam seluruh cerita serial anime ini adalah buah kreativitas khayalan Fujiko Fujia; sekalipun demikian, karena tingkat pemahaman yang belum memungkinkan, sebagian anak-anak dapat saja mengira bahwa semua tokoh khayalan Fujiko Fujia itu adalah entitas nyata di dunia ini, meskipun mereka tidak pernah dapat menemui mereka secara nyata. Dalam khayalan sebagian anak-anak itu para tokoh ini dianggap nyata-nyata ada.
Marilah kita berpindah dari dunia khayalan ciptaan Pak Fujiko ini ke dunia nyata sehari-hari. Kita berpindah dari alam “realitas” rekaan ke kenyataan sehari-hari. Dan demi memerjelas maksud dan tujuan artikel ini, marilah kita mengambil contoh tokoh Doraemon dan penyanyi terkenal, salah seorang juri acara seleksi penyanyi berbakat X-Factor Indonesia, Rossa. Doraemon ADA di alam khayal Pak Fujiko dan alam khayal sebagian anak-anak, Rossa ADA di dunia ‘nyata’ ini dalam bentuk dan rupa seorang makhluk manusia. Baik Doraemon maupun Rossa memiliki kelompok fans fanatiknya sendiri-sendiri.
Sekarang kita membuat dua pernyataan yang sama-sama berdasarkan pada FAKTA, tanpa diberi muatan penghinaan apapun. Mulut Doraemon adalah lebar sekali, dan mulut Rossa adalah lebar sekali. Kita tahu bahwa kata keadaan ‘lebar’ itu bersifat relatif (dibandingkan dengan lebarnya mulut siapa dulu) dan pernyataan itu adalah benar dan faktual berdasarkan ukuran rata-rata mulut. Dalam hal Doraemon, pernyataan bahwa mulutnya lebar sama sekali tidak bermakna konotasi penghinaan baik bagi Pak Fujiko maupun bagi para fans fanatik Doraemon. Lain halnya dengan Rossa dan para penggemar fanatiknya, ketika perasaan mereka sedang galau tidak menentu, mungkin mereka akan memersepsikan pernyataan faktual “mulut Rossa lebar sekali” itu sebagai penghinaan, sebaliknya, ketika hati mereka sedang lapang dan lega, mungkin Rossa dan para fansnya hanya akan ketawa cekikikan karena mereka akan menerima kenyataan itu dengan legowo.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Para fans Doraemon dan para fans Rossa sangatlah berbeda dengan para fans/pengikut fanatik agama. Kedua golongan orang yang sama-sama fanatik ini menempati habitat yang sama sekali berbeda. Yang satu hanya disertai dengan sedikit atau tanpa kemelekatan psikologis sama sekali dan yang lainnya disertai dengan kemelekatan psikologis ‘pol-pol’an. Dengan sendirinya, pemersepsian mereka terhadap hal yang sama akan menimbulkan reaksi yang sangat jauh berbeda. Yang satu paling-paling hanya akan mengeluarkan reaksi menggerundel dan ngomel-ngomel di antara mereka sendiri dan tidak memolemikkan ke luar lingkungan mereka karena menyadari bahwa pernyataan ‘negatif’ terhadap tokoh idola mereka adalah berdasarkan pada fakta atau kenyataan; sedangkan yang lainnya akan mengeluarkan reaksi sangat keras dari mengumpat dan mengutuk sampai menghalalkan darah orang yang dipersepsikannya telah ‘menghina’ idolanya. Ini adalah kenyataan yang dapat Anda amati sendiri dalam kehidupan sehari-hari, di sini dan sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar